Senin, 16 Februari 2015

Burung khas RIAU


 

Burung Serindit Melayu Hewan Khas Riau

Burung Serindit Melayu atau Loriculus galgulus merupakan burung khas Riau. Burung serindit melayu ditetapkan sebagai hewan khas, maskot, atau fauna identitas provinsi Riau mendampingi Nibung yang ditetapkan sebagai flora identitas provinsi Riau
.
Nama ilmiah hewan berukuran kecil dari famili Psittacidae ini adalah Loriculus galgulus (Linnaeus, 1758) merupakan salah satu diantara belasan spesies anggota genus Loriculus (serindit). Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Blue-crowned Hanging Parrot. Sedangkan di Indonesia mempunyai beberapa nama lokal seperti Entlit dan Talisok (Dayak), Lissak (Sumatera), Tripas kelit (Melayu).
Penetapan burung Serindit Melayu sebagai burung khas atau fauna identitas Riau tidak terlepas dari budaya masyarakat Riau terkait burung ini. Selain menjadi burung peliharaan favorit, burung Serindit Melayu telah dikenal dalam berbagai cerita rakyat dan menjadi lambang kearifan, kebijaksanaan, keindahan, keberanian, kesetiaan, kerendahan hati masyarakat Riau

Deskripsi Fisik dan Perilaku Serindit Melayu

Burung Serindit Melayu merupakan burung berparuh bengkok berukuran kecil dan satu-satunya anggota genus Loriculus (serindit) yang mendiami pulau Sumatera dan Kalimantan. Panjang tubuhnya hanya sekitar 12 cm dan berat 28 gram. Bulu pada tubuh dan sayap berwarna hijau muda dan tua dengan tunggir dan ekor berwarna merah. Pada mahkotanya terdapat bercak berwarna biru sedangkan pada sekitar mantel terdapat bercak berwarna keemasan. Paruh berwarna hitam, mata coklat gelap, iris coklat, dan kaki jingga atau coklat. Burung betina serupa dengan burung jantan hanya saja warna bulunya lebih kusam dan tidak terdapat bercak merah pada tenggorokannya.
Burung Serindit Melayu atau Loriculus galgulus
Burung Serindit Melayu atau Loriculus galgulus. Gambar © Daisy O’Neill
Burung khas provinsi Riau ini hidup berkelompok, sering terlihat terbang maupun bertengger dalam kelompok kecil. Beberapa kekhasan perilaku burung bernama latin Loriculus galgulus ini adalah kebiasaannya aktif memanjat dan berjalan di ranting pohon ketimbang terbang. Di samping itu, burung serindit terlihat sering menggantungkan badan ke bawah saat beristirahat.
Makanan burung ini terdiri atas sayuran hijau, buah-buahan, padi-padian dan berbagai jenis serangga kecil. Suara kicauan burung ini berupa siulan bernada sangat tinggi “dzi”.
Burung Serindit Melayu merupakan burung asli Indonesia dengan daerah sebaran meliputi seluruh pulau Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, serta di ujung barat pulau Jawa (Banten). Selain di Indonesia tersebar pula Semenanjung Malaya (Singapura, Malaysia, dan Thailand) serta di Sabah, Serawak, dan Brunei Darussalam.
Populasi burung Serindit Melayu (Loriculus galgulus) secara global tidak diketahui dengan pasti, namun BirdLife memperkirakan lebih dari 10.000 ekor dewasa dengan tren populasi yang stabil.
Meskipun tidak termasuk burung yang dilindungi di Indonesia, burung Serindit Melayu (Loriculus galgulus) terdaftar daftar merah (Red List) IUCN dengan status konservasi Least Concern. Sedangkan CITES mendaftarnya dalam Appendiks II yang berarti perdagangannya harus melalui pengawasan yang ketat.

SEJARAH KICAUMANIA INDONESIA


Ist
POSKOTASUMATERA.COM - Dari penghobby sampai terbentuknya komunitas pecinta burung kicau di Indonesia, saya rasa tidak semua tahu mungkin hanya beberapa persen saja yang tahu tentang kapan burung kicau ini mulai diperlombakan dan burung apa saja yang ikutserta?

Menurut artikel yang ditulis oleh Dr Paul Jepson, ilmuwan dari Pusat Lingkungan Universitas Oxford Inggris ada beberapa sejarah lomba ini yang dicantumkannya. Artikel yang berjudul “Orange-headed thrush/Zoothera citrina and the avian X-factor”, Paul Jepson dengan fasih menyebut penggemar burung kicauan di Indonesia sebagai kicaumania.

Menurutnya kicaumania memiliki cara berbeda dari barat, justru kicaumania di Indonesia ini lebih cendrung memperhatikan suara yang dikeluarkan oleh burung.

Sekitar ratusan tahun yang lalu, yang terpopuler masih burung perkutut itu pun masih dalam masyarakat jawa dan menurut Filosofi Jawa yang dianut leluhurnya  seorang pria harus mempunyai garwa, wisma, turangga, curiga, dan kukila.

Garwa adalah istri, dan wisma berarti rumah. Turangga berarti kuda, yang bisa ditafsirkan sebagai kendaraan (mobil, sepeda motor, sepeda). Adapun curiga atau keris berarti senjata, yang difahami sebagian orang sebagai pekerjaan atau punya penghasilan. Sedangkan kukila itu sendiri berarti burung.

Dahulu pengertian kukila didominasi dengan perkutut berbeda dengan sekarang di era modern ini yang berarti burung kicauan, hewan piaraan, bahkan kukila bisa ditafsirkan ke hobi apapun bahkan barang-barang mewah.

Dahulu para leluhur lebih suka memelihara burung perkutut untuk meneguhkan status sosial pemiliknya, peringkat kedua cucakrowo, selain suaranya yang keras hingga terdengar dengan jarak 1 km dan juga bisa menegaskan status soaial pemiliknya juga.

Walau pun dulunya pemelihara burung cucakrowo ini lumayan banyak dan juga ia terkesan mewah, tapi tidak pernah dilombakan sebagaimana burung perkutut.

Pada tahun 1975 dalam artikel Dr Paul Jepson ini, dimana sekelompok warga elite membuat gebrakan dengan menyelenggarakan lomba suara burung, sayangnya dimana lokasi pertama digelar tidak tercantum. Namun jenis burung yang diperlombakan sampai dari luar Indonesia baik itu impor asal China, antara lain hwamei (Garulax canorus), poksay (Garulax chinensis), dan pekin robin (Leiothrix lutea).

Sedangkan hadiahnya memang sangat menggiurkan pada masa itu walau pun tidak disebutkan nominalnya, tapi kita bisa lihat dari burung-burung yang diperlombakan bahkan sampai impor punya. Perlombaan ini diselenggarakan untuk menyaingi perkutut.

Begitu perlombaan ini sudah populer dikalangan masyarakat, baru burung-burung lokal seperti ucakrowo, jalak suren, dan anis kembang mulai disertakan.

Sedangkan untuk Anis Merah pada zaman ini masih dimasukkan ke kelas campuran dan menjadi kelas tersendiri pada tahun 1994 karena populitasnya belum mampu menandingi anis kembang, apa lagi burung-burung impor asal China.

Pada zaman ini terjadi wabah burung di China dan ditambah dengan virus SARS (sindrom sistem pernafasan akut) di tahun 2000, memaksa Pemerintah Indonesia menyetop impor burung asal China bahkan kasus ini terulang sampai sekarang.

Akibat wabah dan virus ini membuat dampak besar diperlombaan, dikelas hwamei, poksay, dan robin langsung drastis sunyi senyap.

Disinilah awalnya terjadi burung lokal pun menjadi tuan rumah, terutama jenis Anis Kembang hingga pamornya meroket pada tahun 2000-an dan harganya pun bisa memuncak hingga capai Rp 4 jutaan/ekor, sedangkan yang kualitas atau juara bisa sampai ratusan juta.

Namun untuk keharuman nama Anis Kembang tidak berlangsung lama, sejak timbulnya penampilan Anis Merah Zamorano yang hampir merajai setiap pertandingan, membuat Anis Kembang turun meroket kebawah.

Tapi karena populitasnya terbatas membuat nama harum kedua burung ini punah dan dalam perlombaan jarang terlihat dan digantikan dengan Murai Batu sebagai yang terpopuler.

Begitu juga dengan Lovebird yang jadi incaran para kicau mania, selain bisa dijadikan untuk lomba, Lovebird juga bisa untuk burung hias sehingga membauat segmen pasarnya begitu luas. Tidak saja para kumpulan kicaumania saja yang menggemarinya bahkan wanita, anak-anak dan manula juga menginginkannya. Jadi Lovebird ini berpeluang besar untuk menyingkirkan dan menggeser popularitas Murai Batu.

Dalam artikel Dr Paul Jepson, bahwa iya mengakui dan mengagumi antusias kicaumania di Indonesia dan ini membawa dampak sosial-ekonomi positif diberbagai kota dan provinsi. Bahkan hobby ini dapat menyatukan warga Indonesia dengan kelas sosial dan etnis yang berbeda, untuk datang bersama-sama dalam kepentingan yang sama pula, yaitu lomba burung.

Dan dalam artikelnya juga dia mengkritik bahwa kicaumania mempunyai kekurangan yakni kurang menghargai aspek penangkaran yang mengakibatkan populasi burung merosot tajam bahkan bisa jadi terancam punah
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar