Pada tanggal 2 Oktober 2009 Unesco menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sejak saat itu, kita memperingatinya sebagai hari Batik Nasional.
Berhubung sekarang ini hari Batik Nasional, tak ada salahnya kita membahas tentang sejarah batik Riau.
Batik Riau bermula sejak jaman Kerajaan Melayu
dulu, yakni Kerajaan Daik Lingga (1824-1911) di Kepulauan Riau. Batik
di jaman Lingga ini tidak menggunakan lilin sebagai perintang warna,
melainkan pewarna perak dan kuning dicap pada bahan kain menggunakan
perunggu yang bercorak khas melayu. Kain yang digunakaan adalah kain
halus, seperti sutra.
Seiring perjalanan waktu, penggunaan
logam perunggu ini pun berakhir dan digantikan dengan bahan kayu yang
lunak yang disebut kerajinan Telepuk. Kerajinan Telepuk ini menggunakan
menggunakan bahan cap yang berasal dari buah-buahan keras, seperti
kentang. Telepuk sendiri berarti gambar bunga-bungaan dengan perada pada
kain atau kertas. Kain Telepuk merupakan kain berbunga-bunga yang
berasal dari India.
Batik Riau Modern
Pada tahun 1985, Pemerintah Provinsi Riau
berupaya membangkitkan kembali Batik Riau dengan memberi pelatihan
kepada masyarakat. Teknik dan pembuatan Batik Riau sama halnya dengan
pembuatan batik Jawa yang menggunakan Canting. Yang membedakannya adalah
motifnya, yakni motif tenun Melayu Riau.
Lalu, dari pelatihan tersebut muncullah tiga perajin batik di Provinsi Riau/Pekanbaru:
- Batik Lancang Kuning (Batik Tulis) oleh Ibu Sudirah
- Tanjung Sari (Batik Tulis) oleh Ibu tanjung Batik
- Batik Selerang (Batik Printing) oleh Ibu Yuliar Rofa’i
Pada tahun 1998, Dekranasda Riau yang
dipimpin oleh Ibu Hj. Titiek Murniati Soeripto, juga telah mengembangkan
batik printing. Kemudian dibawah kepemimpinan Ibu Hj. Mardalena Saleh,
pada tahun 2003 Dekranasda Provinsi Riau mengembangkan batik dengan
produksi Batik Cap. Dalam perkembangannya, batik ini disebut batik Riau
karena prosesnya yang tidak berbeda dengan batik yang berasal dari jawa,
sehingga batik ini kembali terlupakan.
Kemudian barulah di tahun 2014, Ibu Dra.
Hj. Septina Primawati Rusli, MM., selaku Ketua Dekranasda Provinsi Riau
berupaya membangkitkan kembali kerajinan batik ini dengan menggunakan
pola baru pada disain sehingga terlihat kekhasan batik Riau.
Salah seorang seniman yang juga pengurus
Dekranasda Provinsi Riau yakni H. Encik Amrun Salmon akhirnya
menghasilkan suatu pola baru dengan membuat batik tulis/colet berpola
dengan mengambil ilham dari tabir belang budaya Melayu Riau yang
bergaris memanjang dari atas ke bawah dengan motif-motif Melayu terutama
terdapat pada tabir pelaminan Melayu Riau.
Dari motif-motif tersebut
maka dikembangkan menjadi sebuah motif baru yang diberi nama sesuai
aslinya. Berikut motif baru batik Riau: Bungo Kesumbo, Bunga Tanjung,
Bunga Cempaka, Bunga Matahari Kaluk Berlapis, dan masih banyak lagi.